Aplausitas Relatif

OLEH: Rayyan Alkhair
Berbicara mengenai harga dari sebuah atau suatu komoditas atau benda lain, kita akan berfikir dengan paradigma ekonomi dengan menggunakan hukum demand dan supply yang mana jika penawaran suatu barang naik maka harga dipasar akan turun dan jika permintaan akan suatu barang naik maka harganya juga ikut naik. Atau mungkin terlintas pada pikiran kita akan teori floor price dan ceiling price yang berorientasi kepada penetapan harga yang menguntungkan baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Hukum beserta teori diatas maupun teori lain yang berkaitan, memiliki ikatan dengan bagaimana manusia mengatur harga suatu benda sehingga ia “bernilai” di mata manusia. Namun, pernahkah kita terpikir bahwa aplausitas tersebut adalah hal yang nisbi ? Hal yang kita kejar selama ini, yang kita sangka membawa bahagia adalah cahaya semu dalam gelap yang hilang jika kita melihat sumber segala cahaya ? Apa yang membuat ini semua mungkin dan dapat dipahami ?

Manusia dengan kegiatan mental seperti berpikir, berhasil menemukan pemaknaan atas realita di dunia yang hidup bersamanya. Dengan kata lain, akal menjadi tumpuan kita melihat realitas duniawi dan membuat sebuah pemahaman diatasnya. Namun, dengan sumber ontologis yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pula terhadap bagaimana is melihat dunia dan seisinya, dunia dengan segala cahaya yang menyilaukan. Dengan akalnya, manusia berpikir untuk meraih dan merealisasikan kebahagiaan dengan berbagai macam sudut pandang yang secara luas terbagi menjadi materialis dan supernaturalis atau transendentalis. Tuas kemudi ada pada anda, silahkan nahkodai perjalanan hidup tuan dan puan menuju kebahagiaan yang terbagi atas kebahagiaan yang hilang ketika nyawa tak lagi dikandung badan dan kebahagiaan yang berjalan dikala jasad tak lagi berjalan.

Berkata seorang Nabi yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad.saw kepada Humairah “Hai ‘Aisyah, bukankah amal ibadat yang mereka kerkajakan itu adalah menurut kadar akalnya ? Seberapa tinggi akalnya sebegitulah ibadat yang mereka kerjakan serta segitulah pahala yang diberikan”. Lalu, sambung beliau “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian ; siapa yang memiliki ketiganya sempurnalah akalnya ; jikalau kurang salah satu maka tidaklah ia dihitung sebagai orang yang berakal”. Bagian pertama ialah ma’rifatullah, kedua ialah baik taatnya kepada Allah dan ketiga ialah sabarnya atas ketentuan Allah.

Tingkatan ini menimbulkan perlainan pandangan ditengah-tengah manusia meski hakikat yang tersembunyi dibaliknya tetap sama. Ada tuan yang senang sekali berada di depan keramaian menjadi pusat hiruk-pikuk manusia, sedangkan tak ia hiraukan tenang dan gelapnya malam untuk berduaan dengan tuhan. Ada yang setiap hari memoles rambut tetapi lupa memoles akalnya dengan ilmu sehingga ia bangga tampil klimis dan necis sedang jiwanya menangis rindu memanggil kesederhanaan dan rasa syukur dalam hal kecil. Ada yang khawatir jika kehilangan tampuk kekuasaan, harta kekayaan dan kepercayaan sekitarnya namun ia tak merasa rugi ketika yang memberikan semua itu kepadanya sama sekali tak ia tunaikan hak-haknya. Andai diri ini tahu ketika jiwa lepas dari segala kungkungan dan menghadap sang maha diraja, lepaslah segala ancaman serta ketakutannya dahulu, hanya kepada tuhannya ia akan takut.

Sejatinya perbedaan tingkat akal inilah yang menimbulkan aplausitas relatif. Tanyakan kepada orang yang kelaparan ditengah gurun apakah yang akan ia ambil dari segelas air dan roti atau uang senilai 1 Miliar. Disaat yang sama tanyakan pertanyaan tersebut kepada orang yang tak lapar dan tak haus. Kita akan menemukan bahwa sesuatu di alam ini dihargai sebagaimana kita melihat dengan akal kita. Tidak mungkin orang berakal yang tengah kehausan di gurun akan memilih uang senilai 1 Miliar ketimbang air segar yang menghilangkan dahaga dan tidaklah mungkin insan yang berakal sempurna memilih sebagian kecil kenikmatan dunia untuk memuaskan raga ketimbang jiwa yang haus akan pertemuan dengan tuhannya. Tangan akan mencari apa yang tak ia genggam sedangkan akal akan mencari makna kebahagiaan yang paripurna.

Bertambah luas akal, bertambah luas pula hidup kita serta bertambah datang kebahagiaan kepada kita. Begitu juga sebaliknya semakin sempit akal semakin sempit kita melihat dunia dan yang akan datang menghampiri adalah celaka. Dengan akal kita mengenal sumber dari segala nikmat, dengan akal kita tahu cara terbaik menggunakan nikmat dengan akal kita menggali hakikat yang tersirat. Oleh karena itu jangan tertipu oleh sebab aplausitas relatif yang timbul akibat keinginan dan khayal semata. Pertimbangkanlah cahaya samar agar tuan tak lagi kembali dalam kegelapan.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Mitos Buruk Bulan Muharram: Bagaimana Islam Memandangnya?

Oleh: Rikha Zulia
Muharram, bulan pertama dalam kalender hijriyah yang lebih dikenal masyarakat jawa dengan sebutan bulan Suro. Suro, nama yang diambil dari kata A’syuro yang berarti hari ke sepuluh dimana pada hari tersebut terdapat salah satu amalan yang sangat dianjurkan sebagai sunnah Nabi Agung Muhammad SAW yakni puasa a’syuro. Puasa yang apabila dilaksanakan akan digancar dengan diampuninya dosa selama setahun.

Betapa istimewanya bulan Muharram ini, namun dibalik keistimewaannya terdapat bermacam-macam mitos buruk yang diyakini beberapa kelompok masyarakat Indonesia seperti yang diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sakral dan mengganggapnya sebagai bulan “sial”. Tidak seluruh masyarakat Jawa meyakininya, namun mitos ini cukup familiar dan masih dipercaya oleh sebagian orang hingga zaman modern ini. Salah satu mitos yang paling banyak diyakini adalah mengenai larangan menikah di bulan Suro. Selain itu pada bulan ini juga sering dijadikan sebagai bulan untuk ritual tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran islam.

Lantas bagaimana islam memandang fenomena beberapa mitos buruk di bulan Suro atau Muharram ini? Allah SWT dalam surah At-Taubah ayat 36 berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…”

Pada ayat diatas terdapat empat bulan yang disebut dengan bulan haram yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab. Bulan haram berarti bulan yang mulia serta istimewa, maka tidak benar jika bulan Muharram disebut sebagai bulan “sial”. Bulan Muharram atau bulan Suro juga disebut sebagai bulannya Allah, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yanga artinya:
“ Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulannya Allah, yakni bulan Muharram” (HR. Muslim).
Telah dengan jelas Allah menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang mulia yakni dengan julukan syahrullah yang berarti bulannya Allah maka sudah sepatutnya umat muslim mempercayai dan mengamalkan dengan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam kehidupannya.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang

Realita Sosok Bu Tedjo Dalam Masyarakat Indonesia

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Beberapa waktu ini tengah viral sebuah film pendek dengan judul “TILIK”, atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya “Menjenguk”. Film dengan durasi 32.34 menit ini tayang di youtube pada tanggal 17 Agustus 2020, dan pada tanggal 29 Agustus 2020 telah ditonton sebanyak 18,5 juta lebih penonton. Kesuksekan film ini tidak terlepas dari adanya tokoh yang bernama “Bu Tedjo”, yang dikenal karena nyinyirannya. Bahkan sosok Bu Tedjo ini sempat menjadi trending di twitter, dan berbagai kalimat celetukannya yang menggelitik dijadikan meme dan stiker whats app oleh para netizen, seperti “Dadi wong ki mbok sing solutip”, “Nuraninya itu loh dipake”, “Saiki mbok yo do miker” dan lain sebagainya.

Tokoh Bu Tedjo dalam film Tilik ini menggambarkan kebiasaan buruk masyarakat kita, khususnya di kalangan ibu-ibu atau lebih akrab disebut “emak-emak”, yang suka nyinyir, membicarakan keburukan orang lain dan nge-gosip tanpa mencari tahu dengan sebenar-benarnya terlebih dahulu akan kebenaran hal yang dibicarakan. Seringkali kebiasaan nyinyir dan nge-gosip hanya akan menimbulkan fitnah, karena itu hanya sebuah asumsi yang belum tentu kebenarannya. Terlebih masyarakat kita yang biasanya malas untuk mencari kebenaran informasi tersebut, dan hanya menerima secara mentah-mentah informasi yang sampai kepadanya. Maka dari itu, nyinyir dan gosip dianggap sebagai suatu hal yang buruk atau negatif.

Namun demikian, gosip tidak selalu berkonotasi buruk. Dalam ilmu sosiologi, gosip termasuk salah satu sarana pengendalian sosial. Gosip menjadi salah satu alat yang cukup efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan sosial di dalam suatu kelompok masyarakat. Misalnya, seorang wanita yang biasa pulang terlalu malam atau biasa dibonceng oleh laki-laki yang bukan mahramnya, dalam kelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial. Ketika wanita yang biasa melakukan penyimpangan sosial tersebut mengetahui bahwa dirinya sedang digosipkan, maka ia akan merasa tidak enak atau tidak nyaman sehingga dapat membuatnya berhenti melakukan hal tersebut.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Berkah Wabah: Digitalisasi Kue Ibuku

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Kala itu perkuliahan dengan menggunakan aplikasi zoom sedang berlangsung. Aku yang berada di ruang tamu sedang fokus mendengarkan penjelasan dosen dengan menggunakan smartphone yang tidak begitu smart dan sering mati sendiri. Temanku sering menyebutnya handphone kentang. Aku tidak tersinggung dengan kata kentang, karena memang kenyataannya seperti itu. Kadang kepikiran untuk ganti gawai, tetapi melihat kondisi ekonomi keluarga rasanya cukup bersyukur dengan apa yang dimiliki sekarang. Selagi masih bisa dipakai meski dengan segala keterbatasannya. Sabar dan syukur memang penting di situasi krisis seperti ini.

Namaku Sinta. Ya, aku mahasiswa semester tiga jurusan biologi di salah satu universitas favorit di Yogyakarta. Aku dari SD sangat menyukai tumbuhan dan hewan, sehingga setelah SMA aku memutuskan untuk masuk ke jurusan yang banyak hafalan ini. Hampir empat bulan aku kuliah di dalam jaringan. Tidak hanya aku sih, semua mahasiswa di Indonesia bahkan dunia sedang tertimpa musibah pandemi Covid-19 sehingga dampaknya semua pembelajaran dialihkan ke dalam bentuk virtual.

Di tengah pembelajaran yang cukup seru, tiba-tiba zoom yang sedang menampilkan video anatomi tubuh ular, keluar dengan sendirinya. Aku tidak kaget. Ini bukan kali pertama aku mengalaminya. Biasanya ada dua kemungkinan, sinyalku jelek atau kuota paketanku habis. Dalam kondisi cukup panik, HP-ku berdering tanda SMS masuk. Firasatku tidak enak. Dan benar saja, SMS dari nomor tidak asing yang setia memberi tahu bahwa kuotaku sudah habis.

Pasrah. Pengen rasanya langsung lari membeli kuota baru. Tapi tersadar isi dompet tinggal beberapa lembar pahlawan dari Maluku yang membawa pedangnya. Masih ada sekitar 15 menit sebelum perkuliahan selesai. Tapi syukurlah awal pertemuan tadi sudah presensi, dan lebih bersyukur lagi mata kuliah anatomi hewan menjadi perkuliahan terakhir di minggu ini.

Aku melihat ke dalam bilik dapur yang sempit. Tampak di situ ibu sedang sibuk mengukus kue-kuenya untuk dijual nanti sore. Di usianya yang lewat

setengah abad, ibu masih berjualan kue hasil olahannya sendiri ke desa-desa sebelah. Dari wajahnya ibu terlihat sangat kelelahan. Maksud hati ingin meminta uang untuk membeli kuota pun sirna seiring melihat ibuku yang selama ini telah bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga setelah bapak meninggal dua tahun yang lalu. Merasa ada yang memperhatikannya, ibu menoleh ke arahku.

“Astaghfirullah kaget ibu. Kirain siapa berdiri di situ. Kuliah udah selesai kah?” Tanya ibu dengan wajah terkejut sambil menepuk dadanya.
“Sudah bu, hehe..” Jawabku sambil tersenyum tipis.
“Makan siang dulu tuh, ibu dah masak sayur bayam kesukaanmu.” “Nggih, bu. Nanti aja. Sinta mau sholat dhuhur dulu, udah adzan kan?” “Yaudah sana cepetan.”

Aku pun bergegas mengambil wudhu dan menuju kamar untuk sholat, sementara ibu mulai memindahkan kuenya yang sudah matang ke keranjang untuk diedarkan. Masih di atas sajadah, aku kembali melamunkan ibu lagi. Betapa kuatnya beliau, betapa keras perjuangannya selama ini untuk menghidupiku. Tak terasa air mataku pun jatuh membasahi mukena yang masih aku pakai.

“Meskipun aku masih sibuk kuliah, tetapi aku harus membantu ibuku. Minimal aku tidak memberatkan beliau dengan rentetan kebutuhanku selama ini, termasuk kuota paketan. Aku harus cari cara agar produktif dan menghasilkan uang, tanpa meninggalkan akademisku di perkulihan.” Ucapku dalam hati memotivasi.

Aku bergegas ke dapur mengambil nasi dan sayur bayam buatan ibuku tercinta. Sambil makan, aku terus memikirkan apa yang harus dilakukan untuk sedikit membantu meringankan beban ibu. Aku teringat kata-kata Bu Tejo, seorang ibu ceremet dalam film pendek yang sedang viral. Dalam sebuah adegan Bu Tego berkata “dadi wong ki sing solutip” (jadi orang itu yang solutif). Terlepas dari sifat Bu Tejo yang banyak dibenci para penonton karena suka ghibahin orang lain, tetapi perkataannya tersebut benar juga.

“Lho kok malah mikirin Bu Tejo,” batinku sambil tersenyum sendiri.

Di suapan terakhir, aku teringat pernah mengikut webinar tentang digital marketing yang diisi oleh narasumber yang sudah sukses di bidangnya. Aku teringat beliau bercerita tentang rintisan usahanya berjualan cireng dari nol hingga kini mampu berpenghasilan tinggi. Bedanya dengan pedagang cireng yang biasa lewat depan rumahku adalah beliau menggunakan digital sebagai media promosinya. Ya, dengan menggunakan instagram dan facebook-nya.

“AHAAA AKU ADA IDE!!” Teriak ku tiba-tiba.
“Astaghfirullah.. ibu kaget lagi lho, mbok gak usah teriak-teriak. Kaya di hutan aja.”
Ibuku yang baru selesai sholat dan sedang bersiap untuk pergi berjualan sampai kaget mendengar teriakan ku.
“hehe.. Ngapunten, bu. Aku lagi seneng dapet ide.” “Ide apa emangnya sampai teriak gitu.”
“Ada deh, bu. Besok ibu tau sendiri hehe..”
“Halah kamu ini sukanya gitu, ya udah ibu mau berangkat jualan dulu, doakan semoga dapet rezeki banyak hari ini.”
“Aaamiin bu, hati-hati nggih, bu.” Ucapku sambil mencium tangan ibu.

Akhirnya aku menemukan solusi yang sedang aku cari. Digital marketing. Dengan menggunakan sosial mediaku yang followers-nya lumayan banyak karena memang aku termasuk aktivis kampus, aku yakin bisa mempromosikan kue ibuku. Dengan begitu aku bisa mempunyai penghasilan sendiri dan membantu ibu.

Tanpa berlama lagi aku langsung mengambil gambar kue-kue ibuku dan posting di instagram dan facebook-ku. Tak ku sangka, respon dari teman dan kenalanku di dunia maya sangat antusias. Selang beberapa jam saja pesanan kue ibuku membludak, bahkan di luar prediksi sebelumnya. Tentu ini didukung dengan gambarku yang sangat estetis dan caption yang persuasif. Hehe..

Alhamdulillah kini di sela-sela kuliah dan mengerjakan tugas, hariku yang tadinya penuh dengan lamunan sekarang disibukkan dengan melayani orderan dari para pecinta kue ibukku. Bahkan yang tadinya aku beli kuota mingguan karena minimnya uang saat itu, kini aku bisa membeli paketan bulanan, bahkan unlimited. Semua memang ada hikmahnya. Jika tidak ada covid-19, mungkin proses digitalisasi yang merupakan tuntutan revolusi industri 4.0 tidak akan berkembang se-pesat ini. Jika aku tidak berasal dari keluarga yang kurang mampu sampai membeli kuota internet saja susah, mungkin aku tidak akan mempunyai usaha ini. Untuk itu aku mengajak teman-teman untuk selalu bersyukur, tidak insecure, dan selalu mengambil hikmah di setiap kejadian.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Memaknai Bulan Muharram, Bulan Kemuliaan

Oleh: Eka Erni Nurrokhmah

Pada tanggal 1 Muharram 1442 Hijriyah, seluruh umat Islam dunia menyambut tahun baru Islam atau tahun baru Hijriyah. Biasanya umat muslim di beberapa daerah merayakan tahun baru Hijriyah dengan berbagai rangkaian kegiatan, diantaranya seperti mengadakan pawai, menggelar pengajian dan doa bersama, gema sholawat, dsb. Namun, untuk tahun baru kali ini berbeda cerita dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena adanya pandemi Covid-19 sehingga kegiatan yang biasanya dilakukan ketika tahun baru pun ditiadakan.

Meskipun demikian, rasa syukur ini tidak berkurang sedikit pun. Alhamdulillah, kita masih diberikan umur yang manfaat dan barokah sehingga bisa menyambut datangnya bulan Muharram di tahun ini. Kita sebagai umat Islam tentu senantiasa menyambut tahun baru Islam dengan melakukan kegiatan di rumah, seperti berdoa, khususnya doa awal dan akhir tahun, kemudian menjalankan amalan-amalan yang dianjurkan ketika datangnya bulan Muharram ini, termasuk puasa Tasu’a dan Asyura’.

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang paling mulia. Ada banyak sekali keutamaan-keutamaan dalam bulan Muharram, bulan yang mulia ini.

Allah SWT telah berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 36, yang artinya:

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. At-Taubah: 36)

Menurut ahli tafsir, empat bulan haram tersebut di antaranya adalah bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. yaitu, bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Adapun amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada empat bulan haram itu akan dilipatgandakan pahalanya. Begitu juga dengan perbuatan dosa.

Berdasarkan beberapa sumber referensi, bulan Muharram mendapat sebutan khusus yakni syahrullah atau tepatnya syahrullah al Asham (bulan Allah yang sunyi). Karena sucinya bulan ini, maka seharusnya harus tidak terjadi konflik di bulan ini.

Nah, ada beberapa makna yang mendalam pada tahun baru Islam bagi umat Islam. Pada bulan Muharam ini, awal Nabi Muhammad SAW berniat dan bermaksud melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah. Setelah adanya peristiwa hijrah tersebut, agama Islam berkembang pesat dan semakin meluas hingga ke Makkah dan wilayah sekitarnya.

Selanjutnya, pada pergantian tahun ini sebaiknya kita jadikan sarana untuk introspeksi diri atau muhasabah. Di awal tahun ini kita berintrospeksi diri atas segala hal yang sudah kita lakukan selama setahun yang lalu dan memikirkan perbaikan dan kebaikan yang akan dilakukan pada tahun yang akan datang. Tinggalkan yang buruk dan tingkatkan yang baik. Dengan harapan agar kita menjadi umat muslim yang lebih mawas diri. Selalu berpikir sebelum bertindak atau istilah lainnya agar selalu eling dan waspada.

Dengan demikian, mari wujudkan semangat baru di tahun baru ini. Marilah membuka lembaran baru dan isilah dengan tinta kebaikan. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat.

كل عام وانتم بخير

Selamat Tahun Baru Islam 1442H.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang

Seorang Nenek :)

Sebuah cerita
Oleh: Wihda Ikvina Anfaul Umat

Seorang nenek tua dengan penuh perhatian…
Seorang nenek tua dengan kasih sayang…
Seorang nenek tua yang tampak kesepian…

Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan, merupakan satu tahapan yang bagi sebagian orang yang ditakdirkan memang harus melewatinya. Tua atau menjadi tua adalah sebuah tanda bahwa fisik kita tak lagi sekuat dulu, bahwa kecantikan atau ketampanan adalah satu hal yang tiada abadi. Tua masa untuk beristirahat dan mengistirahatkan diri dari hiruk pikuk dunia bukan lagi kita merawat tapi dirwat.

Dulu, aku sempat berpikir esok ketika bapak ibuku tua aku harus merawat mereka bagaimanapun kondisinya. Sampai sekarang pun keinginanku mungkin belum berubah, tapi mungkin juga tidak sekuat dulu. Bagaimanapun, pemikiran dapat bergulir seiring segala hal yang memasuki perkembangan usia ini. Yang amat kuat menyayangi dapat luruh seketika dengan hal baru. Yang amat benci tak ingin dekat tiba-tiba serasa tertarik dan mendekat. Begitulah pergolakan pemikiran terjadi. Namun, jika Tuhan memberikan soal pilihan ganda bagi hidup, tentu aku akan memilih hal-hal baik sebagai pengsinya. Begitu juga dengan merawat orang tua yang kelak akan menua juga.

Oh iya, sebenarnya aku hendak bercerita sosok tua yang akhir-akhir ini sering sekali aku temui. Seorang nenek berusia 80 tahun, nenek dari adik les ku di kampung. Beliau sangat-sangat ramah menyambut kedatanganku sebagai guru setiap senin hingga jumat. Dengan hangat mengajak berbicara dan mengarahkan untuk selalu sabar menghadapi adik les yang -memang agak lumayan- beliau juga Selalu menyiapkan makanan dan mempersilahkanku untuk mengicipinya. Katanya beliau tidak suka pedas dan micin, jadi harus masak sendiri agar dapat dimakan. Beliau juga sering sekali membawakanku sebungkus dua bungkus jajan kecil yang diam-diam digantungkan di motor yang ku parkir depan rumah.

Tak hanya itu Setiap kali aku makan, ia selalu bilang untuk makan yang banyak dan pakai seriap lauk. “Makan itu berkah, kalau mbah nyuruh, jangan sekali-kali ditolak, ya!” begitu kira-kira kalimatnya yang aku sampai hafal betul plus nada yang begitu khas. Selain itu ia juga pasti bercerita perihal anak-anaknya yang telah sukses, bagaimana ia berjuang dulu kala masih menjadi ibu muda. Tak sekadar usaha duniawi beliau juga rajin tirakat -katanya- untuk anak-anaknya. Menceritakan suka duka dalam hidup, dimana saja anaknya tinggal, menceritakan silsilah keluarga besar dan kehidupan suwaktu remaja dulu, ah banyak sekali intinya.
Tapi satu yang selalu aku lihat dari nenek tua tersebut. Setelah beliau selesai bercerita seringkali beliau mengusap matanya yang mengembun. Entah menangis, terharu atau memang hanya berair. Jauh dari itu, air di matanya kurasakan sebagai sebuah sepi, sepi yang mendalam dari perempuan tua yang tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Sepi saat tiada teman untuk bercerita, sepi saat anak-anaknya yang dulu ramai kini jarang menjenguk, sepi ketika anak-anaknya sudah sangat sibuk bekerja. Aku tertusuk. Kelak saat aku tua, akankah juga demikian? Akan kurindukan anak-anak yang dulu kubesarkan dengan perjuangan dan kasih sayang?

Sebelum jauh dari itu, yang terpikir tentu yang terlebih dahulu akan menua adalah bapak ibuku. Bagaimana jika kelak aku terlampau sibuk dan mereka kesepian? Bagaimana jika kelak sukses ku menjadikan kebahagian juga kesedihan bagi bapak ibu? Bagaimana jika nenek tua tadi adalah cerminan masa tua bapak ibuku. Kadang aku menangis sendiri apakah setelah sukses nanti, bapak dan ibu akan benar-benar bahagia. Tidakkah mereka nanti akan sangat kesepian saat kutinggal bekerja dan berkeluarga, kemudian kasih sayangku terbagi atas keluargaku sendiri dan keluarga bersama mereka.

… Ah, ketakutan semacam itu sampai saat ini terpatri kuat sekali di langkah-langkahku saat ini.

Tidak ada pesan khusus yang ingin aku sampaikan dari cerita tersebut. Hanya sebuah curhatan, hanya sebuah pengingat bahwa saat masa tua nanti datang, ada sosok yang akan sangat rindu dengan kehangatan perbincangan kecil, akan kasih sayang anak-anak yang dirawat saat masih kecil. Adalah cerita ini pengingat bagi kita semua, agar kelak saat sukses tujuan sebenarnya bukanlah kebahagiaan diri sendiri namun orang-orang yang menghantarkan kita pada gerbang kesuksesan itu, ya Bapak dan Ibu.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Computational Thinking dalam Kehidupan Sehari-Hari

Oleh: Muhammad Nurul Huda

Computational thinking atau dalam bahasa Indonesia yang berarti berpikir komputasi adalah metode pemecahan masalah yang melibatkan pengungkapan masalah dan solusinya dengan cara yang dapat dijalankan pada computer. Berpikir komputasi bukan hanya dilakuakn dalam pemprograman saja. Akan tetapi dapat dilakuakn oleh semua orang terutama anak-anak sekolah. computational thinking diajarkan kepada anak-anak sekolah agar memiliki kemampuan problem solving yang baik sejak dini.

Banyak di negara maju yang mengaplikasikan computational thinking pada kurikilum sekolah dasar. Sehingga para anak-anak memiliki kemampuan analisis yang baik, dimana pada era digital seperti ini computational thinking sangat dibutuhkan terutama pada startup atau usaha dibidang lain. Selain itu peran manusia juga mulai berkurang karena banyak yang sudah diganti menjadi teknologi seprti artificial intelligence.

Ketika belajar suatu bahasa pemprogaman maka akan melibatkan computational thinking. Karena suatu bahsaa pemprogaman merupakan bagian terkecil dari computational thinking. Dan kebanyakan bahasa pemprograman mudah untuk dipelajari karena hanya memiliki syntax (aturan bahasa ) kurang dari lima puluh, hal inilah yang menyebabkan belajar bahasa pemprograman lebih mudah dari belajar bahasa asing. Fungsi dari suatu bahasa pemprogramn sendiri adalah untuk memecahkan suatu masalah. Selain itu bahasa pemprograman digunakan sesuai dengan tujuan seperti Javascript untuk pengembangan web, Java untuk Native dan Python untuk data scientist.

Contoh dari computational thinking yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam pembuatan mie instan. Sebelumya kita harus menyiapkan semua bahan-bahan terlebih dahulu. Seperti menyiapkan mie, air, kompor dan panci. Lalu kita merebus air dan memasukkan mienya ketika airnya mendidih. Selanjutnya kita tiriskan mie tersebut dan menaruhnya kepiring lalu memberi bumbu. Dan terakhir mengaduknya hingga rata lalu mie siap disajikan.

Dari contoh diatas kita telah melakukan berbagai yaitu proses dekomposisi ialah penyiapan bahan, lalu pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma atau urutan pembuatan mie agar lebih cepat. Berbagai permasalahn yang ada di kehidupan sehari- hari dapat diselesaikan dengan mengunakan program. Mungkin kedepanya ada salah satu program yang dapat dibuat untuk memudahakan pemantauan perkembangan seorang santri mulai dari riwayat takzir, pengumpulan tugas, keterlambatan dalam ta’lim dan lain-lainnya dapat dipantau melalui mobile app. Hal ini dapat memudahkan
para ustadz untuk mengetahui progres dan perkembangan anak didiknya dalam skala yang besar dan tentunya menghemat banyak waktu. Selain itu aplikasi seperti masih tidak dikatahui keberadaanya atau belum dibuat mengingat jumlah pondok pesantren di Indonesia yang banyak.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Memaknai Qurban Dalam Konteks Hablun Min Allah Dan Hablun Min An-Naas

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, bahwa Ibnu Juraij berkata, “Dahulu penduduk jahiliyah melumurkan daging dan darah Qurban ke Baitullah”. Lalu para sahabat Rasulullah SAW, berkata, “Kami lebih berhak untuk melumurkannya”. Akibat kejadian tersebut kemudian Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang artinya kurang lebih, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan darimulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37). Dari hal tersebut, Allah SWT hendak menerangkan kepada kita bahwa hakikat qurban tidaklah terletak pada ritual semata, seperti penyembelihan hewan qurban, pembagian daging dan semacamnya, namun lebih daripada itu, buah atau manifestasi dari ibadah qurban adalah sebuah ketaqwaan. Jadi dengan berqurban, harusnya dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Secara garis besar untuk menjadi orang bertaqwa, ada 2 hal yang harus kita perhatikan, yakni hubungan kita kepada Allah (hablun min Allah) dan hubungan kita terhadap sesama manusia (hablun min an-naas). Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 36, yang artinya kurang lebih, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, dan teman-teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Dari ayat tersebut, bahwa kita tidak hanya memiliki kewajiban terhadap Allah semata, namun sebagai seorang hamba kita juga disuruh untuk berbuat baik terhadap sesama.

Jika dimaknai dalam konteks hablun min Allah, maka ajaran inti dari berqurban adalah pelajaran tentang ketulusan dan loyalitas ubudiyah. Hal ini tercermin secara metaforik dalam pengorbanan Nabi Ibrahim atas putra yang sangat dicintainya, yakni Ismail. Nabi Ibrahim dalam hal ini adalah sesosok lelaki tua yang berjuang puluhan tahun mengharap hadirnya seorang anak. Namun ketika telah dikaruniai seorang putra yang tampan nan rupawan, kemudian secara diplomatis Allah menyuruhnya untuk mengorbankan putranya. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya diuji dengan kecintaannya terhadap Tuhannya.

Tentu ini adalah sebuah situasi yang sangat tidak mudah, mengingat rasa cinta Nabi Ibrahim kepada putranya. Namun karena iman dan loyalitas ubudiyah, akhirnya Nabi Ibrahim mampu menghadapi ujian tersebut dengan gemilang, dengan akhir bahwa Allah mengganti dengan seekor kambing sehingga menyelamatkan putranya, yakni Ismail. Dari kisah tersebut, kita diajarkan untuk berusaha melenyapkan dan mengesampingkan egoisme diri atas kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, demi loyalitas penghambaan terhadap Tuhan. Kecintaan kita terhadap dunia, seperti harta, kekuasaan dan semacamnya jangan sampai mengalahkan kecintaan kita terhadap Allah SWT.

Kemudian jika dimaknai dalam konteks hablun min an-naas, maka dalam ibadah qurban mengajarkan kita akan nilai semangat berbagi kepada sesama, tertutama mereka yang berkekurangan. Dengan hewan qurban yang kita berikan, mampu memberikan sepercik kebahagian kepada orang lain. Mereka yang dalam hari-hari biasa kesulitan untuk membeli beras untuk makan sehari-hari, apalagi daging kemudian bisa merasakan betapa nikmatnya makanan tersebut. Inilah hal berharga yang dapat kita rasakan dari adanya qurban.

Dengan demikian, maka manifestasi ketaqwaan yang ditekankan dari ibadah qurban dalam konteks hablun min an-naas adalah rasa empati sosial. Maka dari itu, hal ini bisa kita jadikan sebagai media untuk bermuhasabah atau intropeksi diri. Ketika tangan, mulut, atau anggota badan kita masih mudah menyakiti sesama serta tidak begitu perduli terhadap orang lain, khususnya mereka yang dekat dengan kita seperti tetangga, maka kita patut mempertanyakan ibadah qurban yang kita lakukan. Bisa jadi ibadah qurban yang kita lakukan hanyalah sebatas formalitas, atau agar kita dianggap sebagai orang yang mampu, atau bahkan agar kita dipandang oleh masyarakat sebagai seorang yang dermawan semata.
Wallaahu a’lam

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Sisi Positif dibalik Pandemi Covid-19

Oleh: Mohammad Naelul A.

Berbicara mengenai pandemi Covid-19, memang tak lepas dari kebiasaan sosial yang kita alami selama kurang lebih 5 bulan lamanya berubah seketika. Kebiasaan lama seperti berkerja, belajar, dan aktivitas sosial lainnya yang berjalan normal sebelumnya, tiba-tiba harus disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mencegah tersebar luasnya wabah pandemi ini. Mulai dari aktivitas keseharian yang diharuskan untuk sering mencuci tangan, membatasi bersentuhan fisik dengan orang lain, dan senantiasa untuk menggunakan masker dan APD lainnya guna menghindar dari kemungkinan buruk tertular virus yang mewabah keseluruh belahan dunia ini. Kemudian beberapa kegiatan sosial seperti bekerja dan belajar pun menjadi terhambat, sehingga alternatif yang digunakan untuk tetap berjalan adalah dengan melalui daring, jejaring internet.

Memang banyak sekali hal negatif yang menimpa masyarakat dimasa sekarang, namun setelah berjalan kurang lebih lima bulan lamanya, sisi posistif dari wabah pandemi ini pun semakin terlihat. Baik disadari maupun tidak disadari masyarakat tumbuh menjadi lebih disiplin dari keadaan sebelum pandemi ini mewabah, contoh kecilnya kebiasaan menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitarnya, lalu kebiasaan patuh terhadap aturan yang diterapkan dimasyarakat seperti mengunakan masker saat akan berpergian dan menjaga kontak berlebih dengan orang lain. Selain itu wabah ini menjadikan hubungan antar keluarga menjadi semain erat dan meminimalisasi adanya ego antar keluarga. Orang tua semakin dekat, lebih peduli, lebih sering meluangkan waktu dengan anaknya, dimana dikeadaan normal orang tua harus sibuk berkerja dan sempit sekali waktu untuk diluangkan kepada keluarganya.

Lalu semakin banyak pula orang yang lebih peduli terhadap sesama, dengan memberi bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dan saling menjaga antar sesama dalam meawan pertumbuhan virus yang semkin menjadi-jadi yakni dengan membagikan APD secara gratis yang notabenya juga berasal dari sumbangan kepedulian masyarakat kepada masyarakat yang membutuhkan. Dan terlihat jelas pula orang semakin sadar dengan menyediakan tempat-tempat mencuci tangan yang sebelumnya sangat jarang sekali ditemui. Karena orang semakin sadar, bahwa untuk melawan pandemi ini harus dengan kekuatan kerjasama yang kuat. Maka kepedulian, kerjasama, saling bantu-membantu semakin terlihat di masyarakat.

Kemudian aktivitas belajar mengajar yang diubah dari awalnya pertemuan tatap muka menjadi pembelajaran daring. Mau tidak mau baik guru maupun murid diharuskan belajar menggunakan teknologi yang ada, baik computer maupun gawai, semisal pembelajaran melalui aplikasi atau tools e-learning seperti google classroom, whatsapp group, email, google meet, maupun zoom meeting sebagai alternatif media pembelajaran jarak jauh. Dengan begitu, guru maupun murid menjadi semakin akrab dengan teknologi, yang semula masih asing dengan e-learning kini semakin terbiasa menggunakan media-media daring tersebut. Karena pada akhirnya kita harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, dan dengan semakin terbiasanya menggunakan teknologi maka semakin maju pula perkembangan pendidikan di negeri ini.

Selain kebiasaan umum yang menjadi lebih baik, kebiasaan-kebiasaan baru pun mulai bermunculan. Salah satunya kebiasaan seseorang untuk berolahraga, terutama yang menjadi perhatian saat ini adalah bersepeda. Mungkin bukan sepenuhnya kebiasaan baru, namun sebagai sebuah kebiasaan yang kompak diikuti masyarakat dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, begitupun dengan orang berskala menengah kebawah hingga kalangan menengah keatas, kompak dengan kebiasaan baru ini. Selain menjadikan masyarakat hidup sehat, dampak positif lainnya yaitu semakin berkurangnya polusi udara di perkotaan terutama di jalan raya sehingga udara yang kita hirup pun semakin baik karena kadar CO2 menurun drastis. Tentunya dengan tetap mengenakan APD sesuai aturan yang berlaku.

Kebiasaan bersepeda ini pun menjadi kesempatan emas bagi pelaku bisnis kendaraan beroda dua ini, semakin banyak orang mau bersepeda semakin banyak pula keuntugan bagi mereka yang berada di bisnis ini. Tentu saja dengan keadaan seperti ini banyak orang mengambil inisiatif untuk ambil bagian dalam bisnis ini. Sebagai contoh banyak kalangan muda yang mengubah sepeda bekas yang sudah usang didaur ulang kembali menjadi sepeda yang baru dan bernilai jual tinggi, di sisi lain masyarakat juga yang memiliki kesempatan untuk menjual sepeda bekasnya dengan harga yang tebilang cukup tinggi dari biasanya. Tentu saja ini sangat membantu masyarakat dari segi ekonominya.

Dari berbagai sisi positif yang penulis sebutkan, tentunya masih banyak sisi positif lain yang timbul dari pademi ini meskipun sisi negetifnya tidak bisa dielak. Namun dari kesemua ini, dapat diambil kesimpulan bahwa bukan berarti sebuah wabah penyakit menghancurkan segala hal, tentunya ada hikmah dibaliknya. Tidak ada sesuatu yang sia-sia dari penciptaan Allah (QS. 3:191), begitu yang tertulis dalam Alquran, hikmah selalu ada dibalik sebuah peristiwa. Yang bisa kita lakukan adalah tawakal, doa, dan selalu berusaha agar pandemi yang menimpa kita segera cepat terselesaikan, dan kembali pada keadaan normal seperti sediakala.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

GUS BAHA’: INTELEKTUAL MUDA MUSLIM PEMBAWA OPTIMISME DALAM BERAGAMA

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

KH. Ahmad Baha’udin Nur Salim atau yang lebih akrab disapa dengan sebutan Gus Baha’ saat ini tengah menjadi idola baru di berbagai kalangan masyarakat, khususnya di kalangan santri-santri dan millenial muslim. Beliau lahir di Rembang, dan pada saat kecil menimba ilmu dari abahnya sendiri, yakni KH. Nur Salim Al Hafizh. Setelah beranjak remaja, beliau kemudian nyantri ke Ponpes Al Anwar Sarang di bawah bimbingan Alm. KH. Maimoen Zoebair (Mbah Moen). Setelah menikah, beliau pindah ke Yogyakarta dan menetap disana.

Meski tidak memiliki riwayat pendidikan formal, namun keilmuan Gus Baha’ sudah tidak diragukan lagi. Sejak tahun 2006 hingga sekarang beliau menjadi Ketua Tim Lajnah Mushaf UII serta Dewan Tafsir Nasional bersama Prof. Quraisy Shihah, Prof. Zaini Dahlan dan lainnya. Suatu ketika beliau pernah ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau menolaknya.

Berbagai rekaman pengajian Gus Baha’ saat ini bertebaran di berbagai media sosial, mulai dari youtube, instagram, facebook dan sebagainya. Penyampaiannya yang renyah, sederhana namun berbobot menjadi ciri khas beliau. Beliau juga tidak mudah menghakimi atas berbagai peristiwa yang terjadi. Kehadiran beliau membawa angin segar atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya bagi kita yang hidup di zaman akhir seperti sekarang ini.

Dalam suatu kesempatan, Gus Baha’ pernah mengatakan bahwa ciri khas thoriqoh Syadziliyah adalah menganggap kesalahan bukan sebagai kesalahan. Maksudnya, kesalahan yang bukan maksiat, seperti merasa kurang khusyu’ atau merasa kurang sempurna saat sholat. Beliau mengatakan bahwa itu adalah salah satu bentuk dari bisikan syaitan. Jika diterus-teruskan, lama-lama dapat membuat kita merasa janggal terhadap sholat. Awalnya kita akan bertanya-tanya apakah sholat kita diterima atau tidak, dan lama-lama kita akan bertanya, jika tidak diterima lalu untuk apa kita harus capek-capek melakukan sholat.

Padahal kata beliau, kita ditakdir masih bisa melakukan sholat atau masih bisa sujud itu adalah anugerah yang sangat luar biasa. Betapa hinanya kita, sebagai seorang hamba namun tidak pernah sujud kepadaNya. Beliau menegaskan bahwa manusia generasi akhir seperti sekarang yang ditakdir masih bisa melakukan sholat dan sujud adalah kebanggaan yang luar biasa.

Hadirnya Gus Baha’ di tengah hingar bingar kehidupan modern seperti saat ini memang membawa berkah yang luar biasa. Islam yang dibawakannya terasa sangat indah dan damai. Berbagai cara pandang beliau tawarkan untuk memahami berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Dan yang paling terasa adalah penyampaiannya yang membawa kita kepada optimisme beragama.

Wallaahu a’lam

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang