Almuhtada.org – Al-Qamah merupakan sahabat nabi yang sangat alim dan taat mengerjakan ibadah bahkan selalu menempati shaf pertama dalam shalat.
Ia selalu mengerjakan kewajibannya sebagai muslim, baik yang wajib maupun sunnah. Walaupun begitu, ia merasa kesulitan mengucapkan kalimat syahadatain saat sakaratul maut menghampirinya.
Diceritakan bahwa Al-Qamah merupakan anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Ia sangat sopan, sayang, dan selalu memenuhi kebutuhan ibunya.
Hingga suatu ketika, Al-Qamah menikahi perempuan pujaan hatinya dan kehidupannya mengalami perubahan. Semenjak menikah, ia lebih mementingkan istrinya daripada ibunya dan disibukkan dengan urusan rumah tangganya sendiri. Karenanya, ibunya merasa kecewa namun tidak ada yang tau selain ia dan Allah.
Suatu hari, Al-Qamah jatuh sakit lalu sang istri mengirim utusan kepada Rasulullah untuk memberi kabar bahwa suaminya seperti hendak sakaratul maut.
Rasulullah dan beberapa sahabat kemudian pergi ke rumah Al-Qamah dan menuntunnya mengucap Lailahaillallah. Namun ia merasa kesulitan, lidahnya kaku dan kelu.
Melihat hal itu, Rasulullah lantas bertanya, “Apakah di antara kedua orang tuanya masih ada yang hidup?” Disampaikan kepadanya, “Ada, wahai Rasulullah, ibunya. Ia sudah sangat sepuh.”
Rasulullah meminta, “Temuilah ibunya. Sampaikan ‘jika kau masih kuat datanglah kepada Rasulullah. Jika tidak, diamlah di rumah dan Rasulullah yang akan menemuimu’.”
Sang utusan mendapat jawaban dari ibunda Al-Qamah, “Biarlah aku sendiri yang menemui Nabi. Aku lebih berhak menemuinya.”
Ibunda Al-Qamah datang menemui Rasulullah dengan bantuan tongkat. Rasulullah bertanya, “Wahai ibunda Al-Qamah, jujurlah padaku, jika berbohong, wahyu Allah akan turun kepadaku.
Bagaimana keadaan anakmu?”. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, anakku itu rajin shalat, puasa dan sedekah.” Rasulullah lanjut bertanya, “Lantas bagaimana keadaanmu kepadanya?”.
“Aku tidak suka padanya karena ia lebih mementingkan istrinya dan durhaka padaku.” Jawab ibunda Al-Qamah. “Berarti murka sang ibunda yang menjadi penghalang Al-Qamah mengucap syahadat,” ungkap Rasulullah.
Rasulullah kemudian menyuruh Bilal untuk menyiapkan kayu bakar sebanyak mungkin. “Untuk apa, ya Rasulullah?” tanya ibunda Al-Qamah. Rasulullah menjawab bahwasanya ia akan membakar Al-Qamah.
Sang ibu pun tidak terima, lantas ia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia itu anakku. Hatiku tidak tega melihatmu membakarnya apalagi di depan mataku sendiri”.
“Wahai ibunda ‘Al-Qamah, azab Allah itu lebih berat dan lebih kekal. Jika kau ingin Allah mengampuninya, maka ridhoi dia. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, shalat, puasa, dan sedekah ‘Al-Qamah tidak ada manfaatnya selama engkau masih murka kepadanya,” ucap Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, di hadapan Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh kaum muslimin yang hadir, aku bersaksi bahwa aku meridhoi anakku Al-Qamah,” ikrar sang ibunda.
Nabi lalu memerintah Bilal untuk melihat Al-Qamah apakah ia sudah bisa mengucap kalimat tauhid atau belum. Bilal pun dengan segera menuju rumah Al-Qamah.
Setibanya di sana, ia mendengar Al-Qamah mengucap Lailahaillallah. Bilal berkata, “Wahai semua yang hadir, sesungguhnya murka sang ibunda-lah yang membuat lisan ‘Al-Qamah terhalang mengucap syahadat. Setelah ibunya ridho, barulah lisan Al-Qamah ringan mengucapnya.” Saat itu juga Al-Qamah mengembuskan napas terakhir.
Dari kisah ini dijelaskan bahwa ridho Allah tergantung pada ridho orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua. Hal ini juga sesuai hadis Nabi;
رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ
“Ridho Allah ada pada ridho kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim). [] Alya Rosadiana
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah