Almuhtada.org – Kekekalan jiwa dapat terganggu oleh kerasnya hati. Kondisi sulit hati ini dapat muncul karena berbagai faktor, seperti terlalu sering terjerumus dalam perilaku yang tidak benar, pengaruh lingkungan, dan sikap sombong.
Namun, sejatinya, Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kasih sayang, sehingga setiap individu dilengkapi dengan hati yang lembut. Oleh karena itu, walaupun hati manusia bisa menjadi sangat keras, namun tetap ada kehadiran batin yang penuh nurani.
Ketika menghadapi situasi di mana kita terbukti bersalah namun kesulitan untuk meminta maaf, itu bisa menjadi tanda dari penyakit hati yang keras.
Alasan di balik kesulitan tersebut mungkin terletak pada perbedaan usia, kondisi ekonomi, atau status jabatan antara kita dan orang yang dimintai maaf. Seringkali, kondisi ini mencerminkan adanya sikap superioritas atau merendahkan yang bersumber dari kerasnya hati.
Surat Al-Baqarah ayat 67-74 memberikan gambaran tentang penyakit hati yang keras, terutama dalam kisah Bani Israil. Mereka digambarkan sebagai kelompok yang sulit menerima kebenaran, bahkan ketika bukti nyata telah ditemukan.
Hati mereka menjadi keras seperti batu, menciptakan hambatan yang sulit untuk meleburkan kesalahan dan meminta maaf. Dalam konteks ini, ayat tersebut mencerminkan pentingnya fleksibilitas hati, keterbukaan terhadap kebenaran, dan kemampuan untuk merendahkan diri demi perdamaian dan kebaikan bersama.
Penyakit ini menjadi sulit untuk diatasi karena penderitanya harus menghadapi diri sendiri. Egoisme, gengsi, atau perasaan istimewa seringkali menjadi pemicu mengapa hati seseorang menjadi keras dan enggan menerima kebenaran serta kebaikan yang berasal dari luar dirinya. Meskipun menghadapi kesulitan dalam penyembuhan, hal ini tidak berarti bahwa penyakit ini tidak dapat diatasi.
Pada suatu hari, seorang laki-laki datang mengadu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengenai kekerasan hatinya (qaswatul qalb). Nabi memberikan jawaban:
إن أردت تلين قلبك، فأطعم المسكين، وامسح رأس اليتيم
Artinya: “Jika kamu ingin melunakkan hatimu, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Hadits ini mengajarkan bahwa untuk melunakkan hati yang keras, seseorang disarankan untuk berempati terhadap orang-orang yang lemah. Salah satu bentuk empati tersebut adalah dengan memberi makan orang miskin.
Makanan merupakan kebutuhan pokok setiap individu, dan orang miskin seringkali hanya dapat mencukupi kebutuhan dasar mereka. Orang miskin dan faqir, keduanya merupakan kelompok rentan yang memerlukan uluran tangan.
Selain memberi makan orang miskin, Rasulullah juga menyarankan untuk mengusap kepala anak yatim. Tindakan ini bukan hanya secara fisik, tetapi lebih pada anjuran untuk menyayangi, berlemah lembut, dan mengayomi anak yatim.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa setiap rambut yang diusap akan mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang melakukannya. Selain itu, berbuat baik kepada anak yatim akan mendatangkan pahala besar, bahkan dijanjikan surga bersama Nabi.
Ibnu Rajab al-Hanbali menekankan bahwa bergaul dengan orang-orang miskin dapat meningkatkan rasa syukur dan ridha terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah. Sebaliknya, bergaul dengan orang kaya dapat membuat seseorang kurang menghargai rezeki yang diterimanya.
Dengan melakukan tindakan empati ini, hati yang keras dapat menjadi lebih lunak, terbuka terhadap kebenaran, dan cenderung berada di jalur kebaikan. [] Eka Diyanti
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah