Almuhtada.org – Didalam ilmu fikih terdapat beberapa pendapat menegenai batasan-batasan aurot perempuan yang boleh dilihat oleh non-Mahrom.
Lalu, bagaimaa seandainya jika aurot seorang perempuan itu dilihat oleh yang mahram dengan-Nya?
Mahram yang disinggung disini adalah mahram mu’abbad yaitu seorang laki-laki yang tidak boleh menikahi-Nya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
- Hubungan nasab, seperti ayah, anak laki-laki, abang, dsb.
- Hubungan mushaharah (lantaran dari terjadinya pernikahan), seperti bapak mertua, anak laki-laki dari suaminya, menantu laki-laki, dsb.
- Hubungan persusuan (radha’ah), seperti saudara sepersusuan, suami dari ibu yang menyusui
Para ulama juga berbeda pendapat dalam menghukumi hal ini, berikut pendapat dari empat madzab besar :
- Madzab al-Hanafiyyah
Didalam madzab ini dikatakan, bahwa aurot perempuan yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah selain anggota tubuh yang berada diantara pusar dan lutut, punggungnya dan perutnya. Jika, ada dalam keadaan aman dari fitnah dan syahwat.
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka…”(Q.S An-Nur : 31)
Yang dimaksud perhiasan disini adalah anggota tubuh yang dijadikan objek dipakaikan perhiasan. Sebab, hukum dari melihat perhiasan itu adalah mubah/ boleh.
Jadi, yang boleh terlihat itu berupa kepala, leher dan dada, telinga, pergelangan tangan, pergelangan kaki, jari, punggung telapak kaki, dll yang bisa dikenakan perhiasan.
- Madzab al-Malikiyyah dan al-Hanabalilah
Menurut pendapat kedua, aurot perempuan dengan mahramnya terdiri dari wajah, kepala, dua tangan, dan dua kaki. Karena itu, menampakkan dada, payudara, atau anggota tubuh lainnya di hadapan orang yang dicintainya adalah haram secara hukum.
Termasuk bagi ayah, anak laki-lakinya, dan mahramnya yang lain untuk melihat aurat dirinya tanpa syahwat selain pada empat anggota tersebut.
Namun, Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali berbeda dengan pendapat resmi madzhabnya, mengatakan bahwa batasan aurat wanita dengan mahramnya sama dengan batasan aurat antara laki-laki dan wanita, yaitu anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut.
Menurut pendapat resmi ulama Madzhab Hambali, mahram yang diizinkan melihat sebagian aurat wanita berarti mahram baik muslim maupun kafir.
Ada bukti bahwa Abu Sufyan Bin Harb pernah masuk ke rumah putrinya, Ummu Habibah, yang merupakan salah satu istri Rasulullah SAW. Saat itu, Ummu Habibah tidak diminta Rasulullah SAW untuk menutupi seluruh auratnya di hadapan ayahandanya, Abu Sufyan, yang masih kafir.
- Madzab asy-Syafi’iyyah
Sebagian besar ulama Madzab Syafi’i berpendapat bahwa aurat wanita yang boleh dilihat oleh mahramnya adalah anggota tubuhnya selain yang ada di antara pusar dan lutut.
Namun, ada beberapa ulama lain yang berpendapat bahwa aurat wanita adalah anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat beraktivitas di dalam rumah.
Seperti kepala, leher, tangan hingga siku, dan kaki hingga lutut, anggota tubuh ini adalah batasan aurat yang boleh dilihat wanita. [] Lailia Lutfi Fathin