Pandemi, Menuntun Hati

Oleh: Khofifah

Aku menghela napas kecewa ketika melihat berita di grup sekolah yang mengatakan jika libur sekolah diperpanjang. Satu tahun sudah sekolah mengadakan pembelajarannya secara daring  (dalam jaringan) dan selama itu juga, aku terperangkap dalam rasa bosan.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini aku sedang melakukan pembelajaran secara virtual.

“Dhit, belikan sarapan tolong ya.”

Aku yang tengah sibuk memperhatikan guru via zoom langsung mematikan fitur on cam. “Maaf bu, Dhita lagi zoom.”

“Habis zoom selesai ya, Dhit. Ibu minta tolong, soalnya ibu lagi bantuin Ilham ngerjain tugas.” Dari balik pintu, terdengar suara ibu dengan nada memohon.

“Yah,” desahku kesal. “Kalau sempat ya bu, soalnya tugas Dhita banyak,” lanjutku.

Tak ada jawaban dari ibu. Aku menggeleng acuh, kembali menyimak pembelajaran di layar dan tak lupa mengaktifkan kembali fitur on cam.

Kelas pagi ini berakhir pukul sembilan dan dilanjut dengan pemberian tugas yang cukup banyak. Oh ya, sekarang aku tengah berada di kelas 11 SMA. Aku sama sekali belum pernah berkunjung langsung ke sekolah sejak pertama kali aku mendaftar, miris sekali.

 “Dhit, kamu mau jemput Ilham ke sekolah? Tadi dia berangkat sebentar.”

Hari ini entah sudah keberapa kali aku menghela napas. “Gak bisa bu, tugas Dhita banyak.” Kulihat dari pantulan cermin, ibu berjengit, mungkin kaget mendengar suaraku yang agak meninggi. Entah kenapa, aku jadi sering kesal semenjak pandemi ini. Aku merasa lelah fisik dan emosiku juga tidak stabil.

Tidak ada sahutan dari ibu. Lalu beberapa menit kemudian, terdengar suara motor dinyalakan. Karena penasaran, aku mengintip dari jendela. Terlihat ibu yang bersiap pergi, sepertinya hendak menjemput Ilham.

Aku pun melanjutkan aktivitasku mengerjakan tugas. Dan tepat ketika ibu pulang, tugasku selesai.

“Sarapan dulu Dhit,” panggil ibu seraya mengeluarkan tiga bungkus nasi dari dalam plastik.

“Nanti bu,” ucapku seraya sibuk menatap layar android.

“Sudahlah nduk, Handphonenya nanti lagi.” Suara ibu terdengar parau, seperti sedang menahan marah.

“Sebentar lagi, bu.” Desahan kesal keluar dari mulutku. Tanganku masih sibuk membalas satu per satu pesan yang masuk.

“Ayo nduk, sarapan bareng, ibu buatin kamu teh ini lho.” Aku melihat sekilas ibu yang datang dari arah belakang dengan membawa dua gelas teh.

Karena masih asyik membalas pesan di salah satu aplikasi chat, aku tetap tak mengindahkan permintaan ibu. “Iya bu, aku sarapannya nanti saja.”

Selanjutnya, aku hanya mendengar helaan napas lelah dari ibu. Karena tak kunjung mendapat kepastian dariku, ibu memilih memakan sarapannya seorang diri.

Baca Juga:  Tentang Rasa

Sore harinya, tidak ada yang berubah. Aku baru saja selesai salat ashar dan seperti biasa, hendak mengecek notifikasi dari handphone lalu sesekali melihat story teman-teman yang diunggah melalu media sosial instagram.

“Ih yaampun dia sekarang ko gini sih, padahal dulu alim banget.”

“Duh, lihat story dia, jalan-jalan terus, perasaan lagi PPKM gini, pamer banget.”

“Ih, dia ngapain posting ini, bosen banget setiap hari ini terus, emang apa gunanya sih jadi fansnya artis itu, bikin kesel aja.”

Mulutku yang sedari tadi sibuk mengomentari story mereka langsung terdiam ketika suara ibu nyaring terdengar.

“Dhit,” panggil ibu dari balik pintu.

“Kenapa bu?”

“Lagi apa kamu nduk?”

“Tugas, bu.” Aku berbohong, tetapi aku benar-benar sedang tak ingin diganggu.

“Dari tadi pagi tugas terus nduk, emang masih banyak banget?” sedikit ada rasa bersalah karena berani berbohong kepada ibu, tapi sore ini adalah waktuku bersantai dan alhasil jadilah aku berbohong lagi.

“Lumayan Bu, deadline nya hari ini soalnya.” Bohong. Padahal semua tugasku hari ini sudah selesai. Terdengar helaan napas dari balik pintu. Ibu tetap tak mau masuk ke kamarku, sepertinya sedari tadi beliau hanya berdiri di posisinya.

“Ya sudah nduk, padahal Ibu mau ngajak kamu makan pisang goreng bareng, udah ibu buatin teh panas juga. Beneran kamu gak mau nduk? Pisangnya enak banget lho ini.” Suara ibu melemah, sepertinya beliau kecewa.

“Sisakan saja pisangnya, bu. Nanti aku makan setelah tugas selesai.” Aku mencoba menetralkan suaraku agar tak terdengar gugup. Bohong jika aku tak ingin makan pisang bersama ibu sore ini, tapi lagi-lagi berduaa bersama handphone terlihat lebih menarik.

Hingga maghrib tiba, aku baru keluar kamar. Berencana mengambil wudhu dan salat maghrib bersama ibu biasanya. Tapi, aku tidak melihat ibu di mushola kecil rumah kita. Akhirnya, aku berniat mencari ibu di kamarnya.

Aku memanggil ibu namun tak ada jawaban. Kuputuskan membuka pintu dan terlihat ibu tengah meringkuk di kasur dengan selimut tebal yang melapisinya. Pelan aku menghampirinya, tidak seperti biasa ibu seperti ini.

“Jam berapa ini, nduk?” ibu sepertinya menyadari kehadiranku. Aku terkesiap, matanya merah, bibirnya pucat, wajahnya sayu. Badannya juga panas ketika kutempelkan punggung tanganku ke dahi ibu.

“Ya Allah, ibu demam, sejak kapan?” ibu terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Kuputuskan mengambil air putih dan obat.

“Sejak kapan, bu?” aku mengulangi pertanyaanku sekembalinya ke kamar.

Baca Juga:  Seorang Nenek :)

 “Ibu sudah gak enak badan sejak tadi pagi, kak.” Ilham, adikku itu justru yang menyahut. Entah, sejak kapan dia berada di sini.

“Lho bu, kenapa gak bilang?” aku menatap ibu tak percaya. Menuntun ibu untuk mendudukkan badan dan menyenderkan kepalanya ke bahu kasur. Lalu membantunya meminum obat.

“Kak, ayo solat, ibu makmum kamu,” balas ibu mengalihkan pembicaraan. Ibu melakukan tayamum dan kami bersiap untuk solat.

Selesai salat dan berdoa, aku menyalami ibu. Menatap mata beliau yang tidak secerah seperti biasa. Suasana hening menyelimuti kami beberapa detik.

“Ada yang mau kamu ceritakan Dhit ke ibu?” aku menatap ibu bingung. “Gak ada, bu.”

“Ya sudah, ibu yang mau cerita kali ini.” Ada jeda sebentar sebelum ibu kembali berbicara. “Ibu tadi video call sama bapak dan katanya, bapak kangen sama kamu. Sudah jarang kamu menghubungi bapak Dhit, kenapa?”

Aku mendesah lirih, menatap bawah dan tak berani menatap mata sendu ibu.

“Meski sekadar tanya kabar, tapi itu jadi hal kecil yang membuat bapak semangat kerja di sana lho, Dhit.” Ibu mengelus pucuk kepalaku lembut.

“Dan soal ibu yang perintah kamu sebentar untuk beli sarapan dan jemput Ilham….” Kalimat ibu menggantung. Meninggalkan aku yang terdiam cukup lama.

“Maaf.” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku pada akhirnya.

“Gak, ibu gak marah, ibu memaklumi karena kamu mungkin memang sedang sibuk mengerjakan tugas,” tukas beliau.

“Sekarang , tentang pertanyaan kamu tadi, kenapa ibu gak memberitahu kamu kalau ibu sudah sakit sejak pagi?” suara ibu serak dan itu cukup membuat mataku memanas.

“Semenjak pandemi ini, kamu gak  pernah ada waktu untuk sekadar ngobrol sama ibu, nduk. Jangankan ngobrol panjang seperti ini, ibu minta kamu untuk sarapan bareng saja kamu gak mau.” Ada jede beberapa detik sebelum ibu melanjutkan. “Mungkin kalau ibu gak sakit, gak ada obrolan panjang seperti sekarang. Setelah salat berjamaah, kamu pasti langsung pergi lagi. Alasan yang kamu bilang selalu tugas, tugas, dan tugas.” Desahan kecewa keluar dari mulut ibu. Rasa bersalah sepenuhnya sudah menggelayut di diriku. Cairan bening mulai melengos keluar dengan mudahnya, aku menangis.

“Ibu sama sekali gak menyalahkan tugas, justru bagus karena kamu selalu tepat waktu mengumpulkannya. Tapi, ibu keberatan dengan waktu yang terlalu over kamu berikan kepada gadget, sampai kamu gak sadar menyakiti diri kamu sendiri. Contohnya, kamu sampai telat sarapan tadi pagi.”

Baca Juga:  Sebatas Titipan

“Ibu lihat, akhir-akhir ini kamu jadi mudah marah, gusar, gelisah. Kalau kamu marah kamu bisa sampai melukai orang-orang sekitar bahkan melukai diri kamu sendiri. Bukan marahnya yang salah, tapi mengekspresikan amarah itu yang kurang tepat.”

“Caranya gimana? Pasti kamu mau tanya itu.” ibu terkekeh, suaranya parau tapi kesan tegasnya masih melekat di setiap penggalan kata.

“Pertama, kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Ungkapkan kalau kamu memang lagi marah, sedih, kecewa, lelah, dan segala bentuk emosi lain. Ini sederhana, tapi banyak yang gak bisa melakukan ini karena terlilit gengsi. Misal gini, bapak lagi sedih, tapi bapak menyangkal itu karena dia merasa kalau jadi lelaki gak boleh sedih bahkan nangis. Apa yang terjadi? Bukannya tambah lega, bapak jadi mudah stress dan depresi.”

“Kedua, ekspresikan amarah sesuai versi kamu. Setelah kamu mengakui kalau kamu lagi marah, coba diam atau tarik nafas, bisa juga sembari olahraga, nonton film, masak, atau bahkan ada yang ketika marah, mereka memilih bersih-bersih rumah. Jadi dengan sendirinya, perasaan marah itu akan hilang.”

Ibu terdiam sebentar lalu membasahi tenggorokannya dengan meminum setengah gelas air putih.

“Keadaan pandemi seperti ini, keluarga memang punya peran lebih besar untuk saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain agar tidak melukai diri sendiri dan melukai orang lain tentunya. Apalagi semua serba online sekarang, nah, ibu juga kecewa sama sikap kamu yang mudah nyinyir orang lain di media sosial. Kita gak bisaseenaknya menjudge  sama apa yang orang lain unggah di platform medsos mereka. Kalau gak suka, gak usah dilihat atau unmute sekalian, lebih sederhana dan gak menimbulkan dosa. Di era sekarang, menumbuhkan jiwa berempati dan bersimpati juga penting sekali. Ngerti ya, Dhit.” Terakhir, ibu menyentil hidungku pelan, sembari berusaha tersenyum meski bibirnya pucat.

Terakhir, air mataku mengucur deras. Meski sedang sakit seperti ini, ibu tetap berusaha merangkul aku dengan senyumnya yang menenangkan. Terakhir kupeluk ibu  dan mengucapkan maaf.

“Ayo, kita telfon bapak.”

Aku mengganguk, mengusap air mataku dengan lengan baju sebelah kanan. Aku membantu ibu mengambil handphone di nakas. Beberapa menit kemudian, kami sudah tersambung dengan bapak di seberang sana.

Hatiku mencelos melihat senyum hangat bapak. Meskipun aku tahu, dibalik itu, ada perasaan lelah yang berusaha beliau tutupi.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Related Posts

Latest Post