Semua Sudah Takdir-Nya

Oleh: Eka Diyanti

Setiap pagi dihampiri kegelisahan yang bertubi-tubi. Entah bagaimana untuk terus bertahan menjalani hidup ini. Semakin hari semakin ke sini semakin banyak tantangan yang harus dihadapi. Tangis dan duka terus membanjiri. Tertawa kini pecah menjadi misteri penuh tanda tanya tak henti-henti.

Aku punya teman sekolah yang tidak terlalu dekat denganku, tetapi aku banyak belajar dari dia. Temanku yang satu ini berbeda dengan lainnya. Dia merupakan tipikal yang selalu ceria dengan senyum manisnya yang terpapar untuk semua orang. Dia bernama Fadhil. Fadhil adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya baru saja kemarin cumlaude mendapat gelar sarjana informasi dan komunikasi. Sebelum kakaknya cumlaude, Fadhil juga mendapat kabar bahagia bahwa dirinya lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Mendapat kedua kabar bahagia ini membuat orang tua Fadhil bangga terhadap anak-anaknya.

Ayah Fadhil adalah sosok seorang ayah yang pekerja keras. Ia tak pernah mau melihat anaknya merasa kesulitan. Beliau selalu menuruti permintaan anak-anaknya. Sungguh beruntung punya Ayah seperti beliau.

Belum lama ini bendera kuning terpasang nyata di halaman rumah Fadhil. Dia yang baru saja merasa bahagia langsung mendapat berita duka bagai langit yang diam diterkam guntur yang menggelegar. Banyak orang yang tidak menyangka atas kepergian ayahnya Fadhil. Karena biasanya terlihat sehat dan tidak apa-apa. Namun, beliau memang punya riwayat penyakit. Beliau pernah disarankan untuk cuci darah, tetapj beliau menolaknya dengan berbagai macam alasan.

Baca Juga:  Menangislah! Tapi Jangan Salah Arti

Suatu hari sebelum kepergian Ayah Fadhil, tidak ada tanda-tanda apapun. Semua terjadi begitu saja sesuai rencana Allah. Hanya saja saat malam sebelum kepergiannya, Fadhil mendapati Ayah untuk yang terakhir kalinya. Fadhil yang sedang bersama Ayahnya pada malam itu dan Ayah berkata “Ayah mau istirahat, Nak.” Mendengar permintaan ayah, Fadhil langsung meninggalkan ayahnya dengan menyelimuti ayah dengan selimutnya dan mematikan lampu penerang kamarnya. Pada saat malam itu suasana di rumah Fadhil sedang ramai, ada yang sedang berbincang-bincang dan ada juga yang sedang bermain. Setelah keluar dari kamar Ayah, Fadhil disuruh ibunya memasak dan mempersiapkan untuk makan malam. Di saat masak, Fadhil tidak terpikir apapun tentang ayahnya. Karena dia selalu berpikiran positif bahwa ayahnya akan selalu baik-baik saja. Setelah selesai masak, Fadhil pun makan. Beberapa jam kemudian, Ibu Fadhil pergi ke kamar ayah,  dan mendapati ayah yang sedang tidur pulas. Hingga ketika dipanggil tidak bangun-bangun.

“Yah, ayah….?”Panggil ibu Fadhil.(Dipanggil beberapa kali kok tidak bangun-bangun). Ibu Fadhil pun mulai heran, kemudian beliau memanggil Ayah kembali dengan suara lantang, “Ayah…..Ayah……” (Ayah tetap saja tidak bangun). Kemudian Fadhil yang sedang makan di dapur langsung lari menuju kamar Ayah. Pada saat itu semua orang panik di kamar ayah. Dan akhirnya Fadhil mengambil ponsel dan menghubungi dokter untuk datang ke rumahnya, akan tetapi dokter tidak bisa datang dengan alasan masih punya banyak pasien. Fadhil kecewa dengan sang dokter karena  saat dibutuhkan tidak bisa datang. Kemudian Fadhil langsung memegang denyut nadi ayahnya dan yang ia rasakan denyut nadinya sudah tidak berdetak. Dan ini artinya Ayah Fadhil sudah tiada. Semua orang menangis dan tidak percaya bahwa Ayah Fadhil telah tiada.

Baca Juga:  Menuntut Ilmu Itu Capek, Tapi Lebih Perihnya Kebodohan, Hikmah dari Imam Syafi'i

Di malam itu suasana rumah Fadhil penuh dengan tangis pilu. Tangis terus mengalir dengan derasnya dari mata Fadhil. Fadhil yang terus memegang tangan ayah dengan penuh harapan bahwa ayah akan bangun dari tidurnya. Akan tetapi, semua itu mustahil. Karena apapun yang kita inginkan tidak akan terwujud, jika belum kehendak Allah Swt.

Kebahagiaan dan kesedihan adalah bagian dari hidup kita. Kepergian seseorang mengingatkan kita, bahwa semua hal yang ada pada diri kita akan kembali kepada sang pencipta-Nya. Syukuri kebahagiaan yang Allah beri dan terima kenyataan bahwa semua hal tak semanis yang kita inginkan. Kadang ada juga pahitnya kehidupan yang harus kita rasakan termasuk kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup kita.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

Related Posts

Latest Post